9 Kebiasaan Pria Tanpa Panutan Kuat Saat Tumbuh, Menurut Psikologi

Erlita Irmania
0

Peran Figur Panutan Pria dalam Perkembangan Anak

Dalam psikologi perkembangan, kehadiran figur panutan pria—seperti ayah, paman, kakek, atau mentor laki-laki—memegang peran penting dalam membentuk identitas, regulasi emosi, dan cara seorang anak laki-laki memandang dirinya sendiri. Panutan pria bukan sekadar sosok yang memberi nafkah, tetapi figur yang menunjukkan bagaimana menghadapi konflik, mengekspresikan emosi secara sehat, dan memikul tanggung jawab.

Namun, tidak semua pria tumbuh dengan panutan seperti itu. Ada yang dibesarkan tanpa ayah, ada yang memiliki ayah secara fisik namun absen secara emosional, dan ada pula yang hidup dalam lingkungan di mana figur pria tidak hadir sebagai teladan yang aman. Menariknya, kekosongan ini sering tidak tampak secara kasat mata. Banyak pria tetap terlihat “baik-baik saja”, mandiri, bahkan sukses. Tetapi secara psikologis, ada kebiasaan-kebiasaan halus yang kerap muncul sebagai hasil adaptasi sejak kecil.

Berikut adalah sembilan kebiasaan diam-diam pria yang tidak memiliki panutan pria yang kuat saat tumbuh dewasa, menurut sudut pandang psikologi:

1. Terlalu Mandiri Hingga Sulit Meminta Bantuan

Salah satu kebiasaan paling umum adalah kecenderungan untuk melakukan segalanya sendiri. Pria seperti ini sering bangga dengan kemandiriannya, tetapi di balik itu ada keyakinan bawah sadar bahwa bergantung pada orang lain tidak aman. Dalam psikologi, ini sering dikaitkan dengan avoidant coping. Sejak kecil, ia belajar bahwa tidak ada figur pria yang bisa diandalkan saat ia membutuhkan dukungan. Akibatnya, meminta bantuan terasa seperti kelemahan, bukan sebagai bentuk kerja sama yang sehat.

2. Bingung Mendefinisikan “Pria Sejati”

Tanpa panutan yang jelas, konsep tentang maskulinitas sering terbentuk secara terfragmentasi—dari media, lingkungan, atau pengalaman pribadi. Akibatnya, pria ini bisa merasa ragu: apakah pria harus selalu kuat? Bolehkah menangis? Haruskah selalu dominan? Kebingungan ini membuatnya kerap berganti-ganti peran: kadang terlalu keras pada diri sendiri, kadang justru merasa tidak “cukup pria”. Secara psikologis, ini berkaitan dengan identitas diri yang dibangun tanpa model konsisten.

3. Sulit Mengekspresikan Emosi Secara Seimbang

Banyak pria tanpa panutan pria yang sehat tumbuh dengan dua ekstrem: menekan emosi sepenuhnya atau meluapkannya secara tidak terkontrol. Mereka tidak pernah melihat contoh pria dewasa yang bisa marah tanpa menyakiti, sedih tanpa merasa hina, atau takut tanpa kehilangan harga diri. Akibatnya, emosi sering dipendam hingga akhirnya muncul dalam bentuk kelelahan mental, ledakan amarah, atau sikap dingin yang disalahartikan sebagai ketenangan.

4. Sangat Sensitif terhadap Kritik dari Pria Lain

Kritik dari atasan, senior, atau pria yang dianggap “lebih berwibawa” bisa terasa sangat menusuk. Secara tidak sadar, kritik tersebut menyentuh luka lama: kebutuhan akan pengakuan dari figur pria yang dulu tidak pernah benar-benar hadir. Psikologi melihat ini sebagai bentuk projection dan unresolved father wound, di mana figur otoritas saat ini menjadi pengganti simbolis dari panutan yang absen di masa kecil.

5. Terbiasa Menjadi “Pria Baik” yang Terlalu Mengalah

Sebagian pria tanpa panutan pria yang kuat tumbuh dengan keyakinan bahwa untuk diterima, ia harus selalu menyenangkan orang lain. Ia menghindari konflik, sulit berkata “tidak”, dan sering mengorbankan kebutuhannya sendiri. Ini bukan semata sifat baik, melainkan strategi bertahan hidup. Saat kecil, ia mungkin belajar bahwa bersikap patuh adalah cara terbaik untuk menghindari penolakan atau ketegangan di rumah.

6. Canggung dalam Peran Kepemimpinan

Meski kompeten, ia sering ragu saat harus memimpin. Bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena tidak memiliki contoh nyata tentang kepemimpinan pria yang sehat—tegas tanpa menindas, berani tanpa arogan. Dalam psikologi, ini berkaitan dengan kurangnya role modeling. Tanpa contoh, otak kesulitan membangun peta perilaku tentang bagaimana menjadi pemimpin yang aman dan efektif.

7. Sulit Menjalin Kedekatan Emosional dengan Pria Lain

Persahabatan dengan sesama pria cenderung dangkal atau berbasis aktivitas semata. Obrolan jarang menyentuh perasaan, ketakutan, atau keraguan hidup. Ini bukan karena tidak ingin dekat, melainkan karena sejak kecil ia tidak pernah melihat hubungan emosional yang hangat antara pria. Akibatnya, kedekatan emosional terasa asing dan tidak nyaman.

8. Memiliki Standar Diri yang Sangat Tinggi, Tapi Mudah Merasa Gagal

Tanpa afirmasi dari panutan pria, banyak pria tumbuh dengan kebutuhan kuat untuk “membuktikan diri”. Mereka menetapkan standar tinggi sebagai cara memperoleh nilai diri. Namun ironisnya, saat gagal sedikit saja, rasa tidak berharga langsung muncul. Psikologi menyebut ini sebagai conditional self-worth—harga diri yang hanya merasa aman jika ada pencapaian.

9. Terus Mencari Figur Panutan di Usia Dewasa

Kebiasaan ini sering tidak disadari: mengidolakan atasan, tokoh publik, mentor, atau bahkan figur fiksi secara berlebihan. Ini bukan hal negatif sepenuhnya, tetapi menunjukkan adanya kebutuhan yang belum terpenuhi sejak kecil. Secara psikologis, ini adalah upaya alami untuk “menyelesaikan” tahap perkembangan yang terlewat—mencari contoh tentang bagaimana menjadi pria dewasa yang utuh.

Kesimpulan

Tidak memiliki panutan pria yang kuat saat tumbuh dewasa bukanlah sebuah vonis, melainkan sebuah konteks kehidupan. Banyak pria dengan latar belakang ini justru tumbuh menjadi pribadi yang reflektif, empatik, dan tangguh—karena mereka belajar dari kekosongan. Sembilan kebiasaan di atas bukan tanda kelemahan, melainkan jejak adaptasi psikologis. Dengan kesadaran, pria dapat mulai membangun definisi maskulinitasnya sendiri: yang sehat, seimbang, dan manusiawi. Panutan tidak selalu harus berasal dari masa lalu; ia bisa dibentuk di masa kini—melalui refleksi, relasi yang aman, dan keberanian untuk belajar menjadi figur yang dulu ia butuhkan.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default