
Penangkapan Jaksa Korupsi dan Pelajaran Berharga
Penangkapan mantan Kasi Datun Kejari Hulu Sungai Utara (HSU), Tri Taruna, oleh Tim Tabur Kejaksaan Agung RI menjadi peristiwa penting dalam dunia hukum Indonesia. Setelah sempat masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), "petualangan" sang jaksa berakhir bukan di tangan lembaga anti-rasuah tersebut, melainkan melalui kesigapan tim yang terlatih.
Peristiwa ini menunjukkan komitmen kuat Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, dalam menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap jaksa nakal. Penyerahan Tri Taruna oleh pihak Kejaksaan kepada KPK adalah bukti integritas institusi bahwa Adhyaksa tidak akan menjadi tempat bersembunyi bagi mereka yang mengkhianati korps.
Takdir Di Atas Kekuasaan Hukum
Selama puluhan tahun, seorang pemegang kuasa hukum mungkin merasa memiliki kendali penuh atas nasib orang lain. Namun, peristiwa OTT hingga pelarian Tri Taruna adalah pengingat keras bahwa di atas kuasa jaksa, ada Kuasa Allah SWT. Pelarian yang dilakukan Tri Taruna janganlah dipandang hanya sebagai upaya pembangkangan hukum, melainkan sebagai sisi rapuh manusia.
Wajar jika muncul rasa takut yang teramat sangat, sebuah rasa yang mungkin puluhan tahun hilang karena silau oleh jabatan. Allah sedang menunjukkan bahwa sekuat apa pun posisi manusia, dalam sekejap Ia bisa menyapu bersih segalanya jika hamba-Nya mulai lupa diri.
Meski hukum harus ditegakkan, kita sebagai sesama manusia tidak seyogianya menjadikan musibah ini sebagai ajang untuk menghina atau menghujat secara membabi buta. Ujian dan Teguran yang menimpa Tri Taruna adalah cobaan berat dari Allah SWT melalui perantara OTT KPK.
Cermin Bagi Seluruh Insan Adhyaksa
Cermin ini adalah pelajaran bagi seluruh insan Adhyaksa di seluruh Indonesia agar tetap membumi dan amanah dalam memegang timbangan keadilan. Kini, di balik jeruji besi yang dingin dan sempit, saatnya bagi Tri Taruna untuk berhenti berlari. Inilah ruang yang disediakan takdir untuk berkontemplasi.
Kembali ke sujud dengan cara memperbanyak ibadah dan pasrahkan segalanya kepada Sang Khalik. Di sinilah batas kehebatan manusia diuji, saat kekuasaan lepas dan hanya tersisa doa. Menemukan kedamaian diharapkan terjadi saat dalam proses penahanan. Dari bilik tahanan mungkin sempit, namun bisa menjadi luas jika hati diisi dengan taubat yang tulus.
Di sinilah dibutuhkan kesadaran hakiki bahwa jabatan hanyalah titipan sementara yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya, tidak hanya di dunia, tapi juga di hadapan Mahkamah Ilahi.
Tahun 2026: Lonceng Pengingat
Memasuki tahun 2026, kasus ini harus menjadi lonceng pengingat yang menyedihkan sekaligus menyadarkan bagi para aparat penegak hukum lainnya. Jangan menunggu hingga dinding penjara menyentuh pundak untuk menyadari bahwa integritas adalah segalanya.
Sikap tegas Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah perlindungan bagi institusi, namun kejujuran dalam hati adalah pelindung bagi diri sendiri di hadapan Allah SWT. Semoga kejadian ini menjadi yang terakhir, dan menjadi hidayah bagi kita semua untuk kembali ke jalan yang lurus.
Surat Cinta dari Takdir
Kepada seluruh Jaksa yang saat ini masih memegang amanah di seluruh pelosok Indonesia, peristiwa ini bukanlah sekadar berita kriminal biasa. Ini adalah "Surat Cinta" yang menyakitkan dari Takdir agar kita kembali menata niat.
Timbangan keadilan yang dipegang hari ini adalah ujian paling berat. Jika menggunakan beratnya untuk menindas atau memperkaya diri, ingatlah bahwa Allah memiliki timbangan-Nya sendiri yang tidak pernah luput seberat biji sawi pun.
Setiap jabatan yang diemban dimulai dengan sumpah atas nama Tuhan. Jangan sampai gemerlap dunia membuat kita tuli terhadap janji yang pernah diucapkan. Ingatlah wajah anak dan istri di rumah; jangan biarkan mereka memakan nafkah dari hasil yang tidak diredhai, karena itu akan menjadi api di masa depan.
Kekuasaan dan Kehancuran
Kekuasaan itu seperti bayangan yang tampak besar saat matahari terbit, namun akan hilang sepenuhnya saat matahari terbenam. Kasus Tri Taruna mengajarkan bahwa setinggi apa pun jabatan sebagai "penguasa hukum", tetaplah hamba yang lemah di hadapan hukum Tuhan dan ketegasan pimpinan yang berintegritas.
Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, telah memasang garis tegas: "Pilihlah untuk menjadi Jaksa yang berprestasi atau keluar jika ingin menjadi Jaksa yang korupsi." Tidak ada tempat bersembunyi di tahun 2026 bagi mereka yang masih bermain-main dengan perkara. Kesigapan Tim Tabur Kejagung menangkap koleganya sendiri adalah bukti bahwa korps lebih besar daripada individu mana pun.
Jika saat ini masih ada Jaksa merasa aman melakukan penyimpangan karena belum ketahuan, sadarilah bahwa itu adalah Istidraj, sebuah pembiaran dari Allah sebelum hantaman yang lebih keras datang. Jangan menunggu hingga harus merasakan dinginnya lantai sel untuk menyadari arti sebuah kebebasan dan harga diri.
"Lebih baik hidup sederhana dengan kepala tegak karena integritas, daripada hidup mewah namun harus selalu menoleh ke belakang karena ketakutan akan bayang-bayang dosa dan hukum yang mengejar."
Semoga pesan dalam kolom Khaszanah ini menjadi benteng bagi setiap insan Adhyaksa untuk tetap teguh, jujur, dan berwibawa demi keadilan yang bermartabat di bumi pertiwi. Dan ingat, memenjarakan orang karena pesanan atau perintah atasan, suatu saat akan ada balasannya. Jika bukan terkena cobaan dalam bentuk penyakit, bisa jadi kekuarga terdekat yang terkena, semisal stroke dan cuci darah. Itu adalah tanda-tanda jika Allah telah mulai bekerja mengingatkan yang hatinya tidak suci dalam penegakan hukum. Masih masih mau “Namango”? Tunggu saja kuasa Allah SWT!!!