5 Alasan Kelas Menengah Kesulitan Naik Kelas

Erlita Irmania
0

Mengapa Kelas Menengah Sulit Naik Kelas?

Ketimpangan ekonomi yang semakin terasa membuat banyak orang bertanya, mengapa orang miskin tetap miskin dan mengapa kelas menengah sulit naik ke kelas atas. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hambatan struktural, akses terbatas terhadap sumber daya, serta perbedaan pola pikir antara kelas menengah dan kelas atas. Berikut beberapa alasan utama yang membuat mobilitas ekonomi kelas menengah berjalan lambat.

1. Kelas Atas Mengejar Pemasukan, Kelas Menengah Sibuk Menyimpan

Banyak orang percaya bahwa menabung adalah cara untuk menjadi kaya. Namun, kelompok kelas atas justru fokus pada peningkatan pemasukan. Mereka terus mencari peluang baru, baik melalui bisnis, investasi, atau sumber penghasilan tambahan lainnya. Cara pandang ini berbeda dengan kebiasaan kelas menengah yang lebih nyaman dalam menyimpan uang daripada mencari peluang baru.

Kelas atas juga lebih berani mengambil risiko. Mereka tidak ragu memasukkan uang ke dalam instrumen investasi yang berpotensi memberikan keuntungan besar. Banyak dari mereka menjalankan bisnis dengan skala yang lebih besar dan prospektif, seperti properti. Mereka memandang risiko sebagai bagian dari proses pertumbuhan finansial, bukan ancaman yang harus dihindari.

Sementara itu, kelas menengah cenderung lebih hati-hati. Alih-alih mengejar pemasukan tambahan, mereka sering terjebak dalam kekhawatiran akan risiko kerugian. Ketakutan tersebut membuat mereka sulit mengambil langkah besar, seperti memulai usaha atau masuk ke instrumen investasi yang potensial. Dalam jangka panjang, pola ini menghambat mobilitas ekonomi karena kenaikan pendapatan tidak secepat kebutuhan finansial yang terus meningkat.

2. Uang Dibuat Bertumbuh, Bukan Dihabiskan

Kelas atas sering dianggap boros karena identik dengan barang mahal dan gaya hidup mewah. Padahal, perilaku konsumtif justru lebih ditemukan di kelas menengah. Saat memiliki uang, mereka cenderung menghabiskannya agar terlihat sejahtera. Sebaliknya, orang kelas atas justru lebih fokus membuat uangnya bertumbuh. Mereka memilih menempatkan dana pada aset produktif yang dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang.

Dalam banyak kasus, mereka bahkan lebih sederhana dalam kehidupan sehari-hari karena memahami pentingnya mempertahankan modal untuk investasi berikutnya. Orientasi jangka panjang ini membuat kekayaan mereka terus berkembang. Kelas menengah sering terjebak dalam gaya hidup konsumtif akibat tekanan sosial. Barang-barang yang dibeli tidak selalu dibutuhkan, tetapi dipilih karena ingin terlihat berada.

Perilaku ini mengurangi kapasitas mereka untuk membangun aset dan membuat investasi jangka panjang, sehingga memperlambat perjalanan menuju kelas atas. Tanpa perubahan pola konsumsi, sulit bagi mereka mengumpulkan modal yang cukup untuk mengembangkan kekayaan.

3. Akses Pendidikan Berkualitas Masih Timpang

Perbedaan akses terhadap pendidikan berkualitas menjadi hambatan besar bagi mobilitas ekonomi. Banyak keluarga berpenghasilan rendah tidak memiliki kesempatan masuk sekolah atau universitas terbaik. Mulai dari lokasi, biaya, hingga kualitas fasilitas, keterbatasan ini menciptakan kesenjangan keterampilan sejak dini yang sulit dikejar pada usia dewasa.

Bagi keluarga kelas menengah, biaya pendidikan tinggi juga menjadi tantangan. Meski lebih mampu dibanding kelompok miskin, banyak dari mereka tetap berhitung panjang sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan ketika berhasil, program studi yang dipilih tidak selalu sesuai kebutuhan pasar kerja. Kondisi ini membuat mobilitas karier tidak secepat yang diharapkan.

Di sisi lain, kelompok kelas atas tidak pernah merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki. Mereka terus belajar, ikut pelatihan, menghadiri seminar, dan memanfaatkan waktu luang untuk memperluas wawasan. Keinginan terus-menerus menambah kemampuan ini menjadi salah satu pembeda utama. Sementara kelas menengah sering merasa cukup pintar, kelas atas justru melihat pengetahuan sebagai investasi yang tak pernah selesai.

4. Jaringan Terbatas, Beban Utang Menghambat

Jaringan sosial dan koneksi profesional memiliki peran penting dalam membuka peluang kerja dan bisnis. Individu dari kelas atas biasanya memiliki jejaring yang luas, mulai dari institusi bergengsi, mentor bisnis, hingga investor yang siap memberi dukungan. Jaringan seperti ini memberikan akses pada peluang besar yang tidak tersedia bagi sebagian besar kelas menengah dan kelompok miskin.

Sebaliknya, kelas menengah dan masyarakat berpendapatan rendah lebih banyak mengandalkan jaringan informal. Jaringan ini cenderung terbatas pada lingkungan yang sama dan tidak memiliki akses terhadap peluang ekonomi yang besar. Akibatnya, meski kompeten, banyak orang tidak mendapat pintu masuk menuju posisi yang lebih tinggi atau peluang usaha yang lebih luas.

Selain keterbatasan jaringan, beban utang juga menjadi hambatan besar. Banyak orang miskin dan kelas menengah hidup dalam lingkaran utang, mulai dari kartu kredit berbunga tinggi, pinjaman online, hingga utang pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini membuat mereka sulit menabung atau berinvestasi. Sistem keuangan yang sering kali tidak ramah kepada pemilik modal kecil semakin mempersempit kesempatan mereka untuk membangun aset jangka panjang.

5. Perbedaan Pola Pikir: Optimis vs Pesimis

Pola pikir memiliki pengaruh besar terhadap keputusan finansial. Orang kelas atas umumnya memiliki mimpi besar yang dianggap tidak rasional oleh banyak orang. Namun, mimpi ini justru menjadi pendorong utama mereka untuk bekerja keras tanpa henti. Mereka memusatkan energi pada usaha jangka panjang dan melihat tantangan sebagai bagian dari proses menuju tujuan.

Sebaliknya, kelas menengah sering kali cepat pesimis. Tekanan hidup dan kebutuhan finansial yang menumpuk membuat mereka fokus pada masalah jangka pendek. Pola pikir kelangkaan ini membuat keputusan-keputusan finansial cenderung konservatif dan tidak berani mengambil langkah yang dapat meningkatkan pendapatan secara signifikan.

Ketakutan gagal juga menjadi penghalang, karena kegagalan bisa berdampak langsung pada kestabilan keluarga. Ketika pola pikir terbentuk dari tekanan ekonomi, sulit bagi seseorang untuk mengambil risiko. Inilah salah satu alasan mengapa mobilitas kelas menengah berjalan lambat.

Mulai dari Perubahan Sederhana

Mengubah total cara pandang tidak perlu dilakukan sekaligus. Perubahan dapat dimulai dari langkah kecil, seperti mencari pemasukan tambahan, mengurangi perilaku konsumtif, atau mulai mempelajari dasar-dasar investasi. Langkah sederhana ini dapat membuka ruang untuk keputusan finansial yang lebih besar ke depannya.

Namun, mobilitas ekonomi tidak hanya soal usaha individu. Dibutuhkan kebijakan publik yang inklusif, akses pendidikan yang merata, dan sistem keuangan yang ramah bagi pemilik modal kecil. Tanpa intervensi yang adil, kesenjangan ekonomi berpotensi terus berlanjut lintas generasi dan menghambat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

  • Lebih lama

    5 Alasan Kelas Menengah Kesulitan Naik Kelas

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default