
Reno (30, nama samaran) pertama kali terjebak dalam skema tadpole melalui pinjaman online ilegal. Cicilan awal yang sangat besar membuat hidupnya dipenuhi teror telepon dan pesan penagihan. “Waktu itu minjem Rp500.000, terus di minggu-minggu awal harus bayar 200 (ribu). Nah, sisanya di minggu selanjutnya atau sebulan terakhir barulah kecil, lebih kecil dari minggu-minggu awal,” tuturnya dalam wawancara bersama tim Erfa News (30/11).
Kepada tim Erfa News, pria berambut ikal ini mengaku jumlah maksimal pinjaman yang pernah diajukannya sebesar Rp2 juta. Polanya sama; pembayaran besar di muka atau pencairan yang tidak utuh, serta kewajiban yang membengkak dari yang dicairkan. Tekanan cicilan awal inilah yang membuat Reno kewalahan. Alih-alih memberi ruang bernapas, skema ini memaksanya mencari dana tambahan hanya untuk bertahan. “Ujung-ujungnya gali lubang tutup lubang,” ujarnya.
Reno bukanlah satu-satunya orang yang terkena jerat tadpole. Pengalaman serupa dibagikan oleh pengguna akun TikTok dengan username @HayuOlshop. Dalam sebuah unggahan video TikTok, ia menceritakan pengalamannya meminjam dana Rp1 juta pada platform pinjaman daring (pindar) legal dan dibebankan cicilan awal sebesar Rp930.000. Pengalaman lainnya dibagikan oleh akun TikTok @MuhammadRobby01 yang membubuhkan komentar, “Tagihan pertamanya 70 persen. Gila!”
Mereka hanyalah contoh bagaimana masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami struktur pinjaman dapat dengan mudah terjerat skema yang tidak adil, baik pada platform ilegal maupun legal. Sebagai informasi, istilah pinjol (pinjaman online) merujuk pada layanan peer-to-peer lending ilegal, sementara layanan yang legal dibedakan dengan sebutan pindar (pinjaman daring).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa skema cicilan yang tidak transparan tengah menjadi salah satu isu yang harus segera ditangani untuk melindungi konsumen. Langkah-langkah pembenahan pun mulai diarahkan pada peningkatan kejelasan biaya dan pola pembayaran. Dalam satu dekade terakhir, layanan pinjaman daring memang menjadi fenomena yang menarik perhatian di sektor keuangan di Indonesia. Jumlah penggunanya meningkat pesat. Per Januari 2025, OJK mencatat jumlah pengguna pinjaman daring di Indonesia tembus 146,5 juta jiwa. Angka tersebut meningkat 20 persen dibanding tahun sebelumnya pada periode yang sama, dengan dominasi generasi milenial (19-34 tahun) sebagai pengguna terbanyak berdasarkan laporan Profil Internet Indonesia 2025 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Adapun total penyaluran pinjaman daring mencapai Rp29,08 triliun per Agustus 2025. Sementara, total outstanding pinjaman daring tembus Rp90,99 triliun per September 2025. Namun di balik statistik pertumbuhan tersebut, terselip satu masalah baru yakni praktik skema tadpole, yaitu pola cicilan dengan beban besar di awal. Praktik ini berjalan dalam senyap, memanfaatkan celah regulasi dan ketidaktahuan konsumen.
Penelusuran terhadap pola tadpole mengungkap bahwa skema ini bukan sekadar variasi teknis dalam pembayaran. Tadpole berpotensi menjerat peminjam dalam tekanan arus kas yang berat bahkan meningkatkan risiko gagal bayar.
Tiga Wajah Tadpole: Cicilan Tidak Merata Hingga Pencairan Tidak Penuh
Secara singkat, skema tadpole adalah sebutan untuk metode cicilan di mana nominal pembayaran terbesar dibebankan pada periode awal pinjaman atau front loaded installment. Skema tadpole menetapkan cicilan pertama yang jauh lebih besar dibanding cicilan-cicilan berikutnya. Berbeda dengan pola cicilan normal yang nominalnya setara (flat) setiap periode, skema ini menekan pengguna di awal masa pinjaman. Nama tadpole sendiri datang dari analogi bentuk kecebong yang berkepala besar dan berekor kecil, mencerminkan dominasi cicilan awal dalam keseluruhan beban pembayaran. Meski begitu, skema tadpole tidaklah tunggal. Setidaknya ada tiga tipe skema tadpole yang diterapkan oleh penyedia jasa pinjaman daring nakal.
Tipe Pertama
Yaitu kredit dengan nominal cicilan tidak merata dan interval pembayaran yang tidak konsisten. Tipe ini adalah bentuk paling umum dari praktik skema tadpole. Misalnya, untuk pinjaman Rp1.000.000 dengan total pengembalian Rp1.540.000 (termasuk bunga) dalam tenor 180 hari, cicilan pertama yang jatuh pada hari ke-15 mencapai Rp924.000. Jumlah ini saja sudah mencakup lebih dari 60 persen dari total pembayaran. Cicilan berikutnya Rp462.000 dibayarkan pada hari ke-30, lalu cicilan ketiga hanya Rp77.000 pada hari ke-150, diikuti cicilan keempat dengan nominal sama pada hari ke-180. Baik nominal maupun rentang waktu antar cicilan terlihat tidak beraturan, dan beban besar langsung diletakkan pada pembayaran awal.
Tipe Kedua
Tampak lebih rapi karena nominal cicilan dibuat merata, tetapi interval pembayaran pada periode awal dipercepat. Dengan asumsi pinjaman Rp1.000.000 dan total pengembalian Rp1.540.000, peminjam dibebankan cicilan Rp385.000 yang nominalnya sama di setiap periode. Namun, jarak antar cicilan pertama hingga ketiga dipadatkan menjadi hanya 15 hari sekali. Cicilan terakhir baru jatuh tempo di akhir tenor, yaitu hari ke-180. Secara kasat mata terlihat teratur, tetapi masa pakai dana menjadi jauh lebih pendek dari yang diharapkan peminjam.
Tipe Ketiga
Adalah dana pinjaman tidak dicairkan secara penuh. Misalnya, dari pengajuan Rp1.000.000, nasabah hanya menerima Rp700.000 karena potongan biaya di muka mencapai 30 persen. Meski demikian, ia tetap harus mengembalikan Rp1.242.000 dalam tenor 180 hari. Pada tipe ini, nominal cicilan dan interval pembayarannya memang dibuat teratur, misalnya setiap 30 hari, tetapi ketidakseimbangan antara dana yang diterima dan kewajiban yang harus dibayar menciptakan beban ekonomi yang jauh lebih berat.
Hasil pantauan OJK menemukan bahwa skema tadpole menimbulkan risiko bagi peminjam, antara lain; beban awal yang tidak wajar, karena cicilan tinggi di awal periode pinjaman memberikan tekanan keuangan berlebihan bagi peminjam. Kemudian, pelanggaran batas margin ekonomi lantaran persentase bunga dan imbal hasil pinjaman secara terselubung dapat melebihi batas yang ditetapkan regulator. Batas yang ditentukan OJK sendiri adalah sebagai berikut:
-
Pinjaman Produktif (untuk modal usaha)
a. Plafon hingga Rp50 juta:- Maksimal 0,275% per hari untuk tenor hingga 6 bulan
- Maksimal 0,1% per hari untuk tenor di atas 6 bulan
b. Plafon di atas Rp50 juta: - Maksimal 0,1% per hari
-
Pinjaman Konsumtif (untuk kebutuhan pribadi)
- Maksimal 0,3% per hari untuk tenor hingga 6 bulan
- Maksimal 0,2% per hari untuk tenor di atas 6 bulan
Risiko lainnya adalah skema tadpole dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri pinjaman daring yang ada di Indonesia. Tadpole bukanlah satu-satunya skema yang berpotensi menyulitkan nasabah. Di Inggris dan Amerika Serikat terdapat skema serupa yang disebut balloon payment. Bila tadpole membebankan cicilan besar di awal, balloon payment justru memberikan cicilan kecil di awal dan besar di akhir. Umumnya jumlah yang harus dibayarkan di akhir mencapai 50 persen dari total pinjaman atau cicilan.
Sikap OJK Terhadap Tadpole
Awalnya, skema tadpole sempat dilarang OJK melalui Surat Pengawasan dan Pembinaan OJK Nomor S-305/PL.12/2025 yang dikeluarkan pada 12 September tahun ini. Namun, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menekankan pihaknya telah membatasi praktik skema pembayaran tadpole yang dilakukan oleh pindar. Ia mengatakan langkah itu menjadi upaya untuk melindungi konsumen.
Agusman menjelaskan skema tadpole hanya dapat dilakukan sepanjang mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi yang berlaku, memenuhi aspek transparansi yaitu menyampaikan informasi secara lengkap kepada Penerima Dana dan Pemberi Dana untuk memastikan para pihak telah memahami dan menyepakati skema pembayaran angsuran dengan jumlah yang besar pada periode awal atau front-loaded installments, dan memenuhi kualitas pendanaan TWP90 kurang dari 5 persen.
“OJK telah menerapkan langkah mitigasi dengan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi serta mewajibkan penyelenggara pindar melakukan penilaian kelayakan kredit secara memadai, termasuk memperhatikan repayment capacity, debt to income ratio, dan eksposur pendanaan Penerima Dana di penyelenggara lain. Pengaturan tersebut diharapkan dapat mendorong praktik usaha pindar yang lebih sehat, berkelanjutan, serta sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan pelindungan konsumen,” ujar Agusman melalui keterangan tertulisnya.
Direktur Eksekutif Segara Research Piter Abdullah berpendapat bahwa skema tadpole menempatkan beban tidak proporsional di awal periode cicilan sehingga memberatkan nasabah. Lebih lanjut, Piter menilai skema tadpole dapat meningkatkan tingkat bunga efektif hingga 4-5 kali lipat dibandingkan skema pembayaran normal (non-tadpole). Hal ini berpotensi menciptakan pelanggaran batas maksimum suku bunga yang ditetapkan OJK.
Dalam beberapa kasus, beban pembayaran di awal juga diperberat oleh frekuensi cicilan yang lebih sering, sehingga beban peminjam semakin tinggi pada tenor awal. “Ya ngapain dia (nasabah) pinjam dengan tenor enam bulan kalau dalam satu atau dua bulan (sebagian besar pinjaman) sudah harus lunas,” terangnya dalam peluncuran hasil survei Segara Institute bertajuk “Potret Sumber Pembiayaan dan Perilaku Peminjam di Indonesia” Selasa (9/12).
Menghadapi hal ini, Segara merekomendasikan peningkatan edukasi kepada masyarakat sekaligus penyusunan regulasi terkait skema tadpole. Segara juga menekankan faktor kebermanfaatan bagi nasabah dalam penyelenggaraan jasa pinjaman. “Yang paling utama adalah transparansi sekaligus juga upaya edukasi, dan yang berikutnya adalah kemanfaatan bagi nasabah,” terang Piter lebih lanjut.
Perhatian soal tadpole juga disampaikan oleh anggota Komisi XI DPR Puteri Komarudin. Dalam pernyataannya, ia mendorong kajian yang lebih mendalam terkait skema tadpole. “Hal ini (tadpole) tentu sudah menjadi perhatian kami. Dan, kami mendorong OJK untuk mengkaji secara mendalam terkait praktik skema ini. Oleh sebab itu, skema yang diterapkan pada industri pinjaman daring harus terwujud keseimbangan antara kepentingan perlindungan konsumen. Sekaligus, menjaga keberlangsungan industri pindar,” ungkap Puteri.
Lebih lanjut, ia meminta OJK untuk meninjau kasus gagal bayar karena tadpole. “Karenanya, kami dorong OJK meninjau secara detail dan berimbang. Termasuk meninjau seberapa besar tingkat gagal bayar yang diakibatkan dari skema ini,” ujar Puteri.
Tanpa pondasi transparansi dan perlindungan yang kuat, potensi pinjaman daring sebagai solusi keuangan justru bisa berubah menjadi sumber masalah sosial-ekonomi yang lebih besar, terutama bagi masyarakat rentan yang baru mengenal fintech. Skema cicilan awal jumbo seperti bukan sekadar persoalan utang, tetapi soal perlindungan konsumen. Masyarakat diharap melaporkan indikasi skema tadpole ke OJK jika menemukan pola pinjaman dengan pencairan tidak utuh, cicilan awal yang memberatkan, dan kewajiban yang membengkak sejak awal, serta melampirkan bukti yang ada agar praktik pinjaman yang merugikan ini dapat dihentikan dan ruang aman bagi konsumen keuangan bisa benar-benar terwujud.
Pada akhirnya, skema tadpole mencerminkan praktik eksploitasi terhadap peminjam pindar yang mayoritas berasal dari kelompok underserved dan underbanked dengan literasi keuangan yang minim. Dengan cicilan besar di awal, peminjam terjebak dalam beban pembayaran tidak adil yang justru menjauhkan tujuan inklusi keuangan. Jika dibiarkan, tadpole hanya akan memperdalam kerentanan ekonomi kelompok yang paling membutuhkan akses pembiayaan.